Pada malam yang bungkam karena
purnama dan gemintang urung menyapa, sebuah sapaan hadir untuk mengingatnya.
Tak semua orang ingin menghadirkan sapaan itu, walaupun itu cuma sapaan belaka.
Bersama hening terduduk dirangkul gelapnya malam, membayangkan ia menawarkan
dua jalan untuk kita lalui kelak. Menukarkan pilihan kita dengan nilai
jejak-jejak yang kita torehkan di putaran waktu yang sudah berlalu. Ia hanya
tertarik untuk melihat jejak-jejak itu, dan tak ingin memilikinya, karena
jejak-jejak itu adalah mutlak milik kita masing-masing.
Langkah terkadang tak bisa membuat
kita dengan mudah percaya, bahwa kita digiring mendekat padanya. Wajah-wajah
lusuh tetap menyeringai untuk sebuah harapan, percaya pada tekad dan semangat
untuk bisa merangkulnya. Tahukah kita, bahwa ia bersembunyi di balik harapan
itu, mendekapnya erat-erat dan tertawa seolah-olah kita sedang diperdaya
olehnya.
Kita menyangkal bahwa terangnya hari
bisa membutakan mata kita, riuh rendah pacuan suara bisa tulikan pendengaran
kita. Kita menyangkal semuanya, ketika kita menikmati terang itu, ketika kita
menikmati apa yang kita dengar. Rasa kita seolah-olah tak ada karena kita
berada dikitaran yang bisa dengan mudah membuat kita lupa. Sementara ia yang
tak kasat mata hadir dan tersenyum, menunggu saat yang tepat untuk dirasakan.
Kita memang tak pernah benar dalam
melakukan sesuatu, hanya selalu merasa benar. Lisan kita benar-benar tak akan
pernah menyangkalnya. Mungkin inilah salah satu kesombongan yang paling mudah
berakar saat ini, ketika kita hanya dibuat sadar oleh pikiran kita yang
diwakili oleh lisan. Kesalahan demi kesalahan kita lakukan. keburukan demi
keburukan kita perbuat. Namun, kita terkadang masih mengulanginya juga.
Perubahan yang lebih baik hanyalah celotehan yang sekedar hinggap dibenak.
Tak semua ingin membicarakannya
apalagi mendengar namanya disebut, karena dirinya dekat dengan kekecewaan dan
keputusasaan maupun ketakberdayaan. Mereka cuma yakin bahwa ia pasti akan
merangkul mereka, membawanya menghilang dari peredaran, namun tidak sekarang.
Akupun ingin berkata seperti itu. Tetapi apa salahnya aku mengingatnya,
menghadirkan ketakutan demi ketakutan hanya untuk sekedar membayangkan akan
seperti apa diri ini ketika menemuinya.
Hening... senang bisa bercengkrama
denganmu kala mataku masih belum bisa terpejam dipekatnya malam ini. Dan aku
benar-benar belum siap. Masih banyak yang harus diperbaiki dan masih banyak
yang harus diperbuat. Semoga semua itu bukan hanya celotehan belaka. Semoga....