Minggu, 02 Desember 2012

malam bersama hening

Pada malam yang bungkam karena purnama dan gemintang urung menyapa, sebuah sapaan hadir untuk mengingatnya. Tak semua orang ingin menghadirkan sapaan itu, walaupun itu cuma sapaan belaka. Bersama hening terduduk dirangkul gelapnya malam, membayangkan ia menawarkan dua jalan untuk kita lalui kelak. Menukarkan pilihan kita dengan nilai jejak-jejak yang kita torehkan di putaran waktu yang sudah berlalu. Ia hanya tertarik untuk melihat jejak-jejak itu, dan tak ingin memilikinya, karena jejak-jejak itu adalah mutlak milik kita masing-masing.

Langkah terkadang tak bisa membuat kita dengan mudah percaya, bahwa kita digiring mendekat padanya. Wajah-wajah lusuh tetap menyeringai untuk sebuah harapan, percaya pada tekad dan semangat untuk bisa merangkulnya. Tahukah kita, bahwa ia bersembunyi di balik harapan itu, mendekapnya erat-erat dan tertawa seolah-olah kita sedang diperdaya olehnya.

Kita menyangkal bahwa terangnya hari bisa membutakan mata kita, riuh rendah pacuan suara bisa tulikan pendengaran kita. Kita menyangkal semuanya, ketika kita menikmati terang itu, ketika kita menikmati apa yang kita dengar. Rasa kita seolah-olah tak ada karena kita berada dikitaran yang bisa dengan mudah membuat kita lupa. Sementara ia yang tak kasat mata hadir dan tersenyum, menunggu saat yang tepat untuk dirasakan.

Kita memang tak pernah benar dalam melakukan sesuatu, hanya selalu merasa benar. Lisan kita benar-benar tak akan pernah menyangkalnya. Mungkin inilah salah satu kesombongan yang paling mudah berakar saat ini, ketika kita hanya dibuat sadar oleh pikiran kita yang diwakili oleh lisan. Kesalahan demi kesalahan kita lakukan. keburukan demi keburukan kita perbuat. Namun, kita terkadang masih mengulanginya juga. Perubahan yang lebih baik hanyalah celotehan yang sekedar hinggap dibenak.

Tak semua ingin membicarakannya apalagi mendengar namanya disebut, karena dirinya dekat dengan kekecewaan dan keputusasaan maupun ketakberdayaan. Mereka cuma yakin bahwa ia pasti akan merangkul mereka, membawanya menghilang dari peredaran, namun tidak sekarang. Akupun ingin berkata seperti itu. Tetapi apa salahnya aku mengingatnya, menghadirkan ketakutan demi ketakutan hanya untuk sekedar membayangkan akan seperti apa diri ini ketika menemuinya.

Hening... senang bisa bercengkrama denganmu kala mataku masih belum bisa terpejam dipekatnya malam ini. Dan aku benar-benar belum siap. Masih banyak yang harus diperbaiki dan masih banyak yang harus diperbuat. Semoga semua itu bukan hanya celotehan belaka. Semoga....