KYAAA !!!
Minggu, 30 Desember 2012
Minggu, 23 Desember 2012
Pelupa
“Untuk beberapa hal, kita ingin jadi
pelupa. Hal pernah mencintai seseorang yang salah misalnya.” Matanya
berkaca-kaca saat mengatakannya. Tapi dia tetap enggan menolehkan pandangnya
dariku, membiarkanku melihat air bening yang begitu berharga di mataku mengalir
di pipinya. Sekuat tenaga aku berusaha menahan telapak tanganku untuk bergerak
menghapusnya. Dia berhak menangis. Bahkan sebanyak yang dia inginkan.
“Tentu saja kamu tak perlu mengingat,
hal yang tak ingin kamu ingat.” Aku mencoba mengusap hatinya tanpa harus
bergerak dari posisiku.
“Tapi kamu tahu, hati tidak akan pernah
membiarkanmu semudah itu melakukannya.” Dia tertawa lucu setelah berhasil
mengucapkannya, lucu karena wajahnya terlihat begitu sedih. Mungkin kalau saja
boleh air mata itu berwarna hitam, maka hitamlah yang tengah memenuhi separuh
dari pipinya detik ini. Membuatnya tampak semakin mirip badut.
“Kamu tidak salah pernah mencintainya.
Siapa memang yang bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa?” Aku kembali
mencoba menghiburnya. Setidaknya, agar dia tidak terlalu seperti badut lagi.
“Tentu saja kita bisa memilih. Tentu
saja kita bisa memilih asal tidak membiarkan diri kita sendiri seperti tak
memiliki pilihan lain. Jatuh cinta itu, hanya membatasi dirimu untuk
bertemu dengan seseorang yang lebih baik. Jatuh cinta terlalu dalam hanya
sanggup membuatmu berhasil jadi pelupa.” Air matanya berhenti tapi hidungnya
tetap ingusan. Dia pun tampak enggan menghapus ingus yang membuatnya seperti
anak kecil yang kehilangan Ibunya di pasar. Wajahnya seperti orang nyasar. Atau
itu karena pikiranya yang tengah nyasar kemana-mana.
“Pelupa akan apa? Bukannya cinta hanya
mampu membuatmu buta?” Aku mengangkat alisku tinggi-tinggi menunggu jawaban
darinya.
“Akan berkat lain yang Tuhan sematkan
dalam hari-harimu. Kamu seakan merasa hanya dialah yang sanggup memberimu
bahagia. Kamu jadi pelupa bahwa cinta itu tak selamanya mampu ada. Kamu pelupa
kalau di dalam cinta pun, seseorang bisa melupakanmu.” Keningnya berkerut dan
bibirnya seperti bulan sabit yang jatuh terlungkup. Dia menangis lagi.
“Akan ada suatu ketika kamu
menertawakan dirimu karena sudah menyerahkan banyak hal baik, untuk dia yang
tidak pantas menerimanya. Dan kamu, bukanlah satu-satunya yang pernah mengalami
ini. Jadi jangan menangis hingga mirip badut.” Aku tak tahan lagi, aku rekatkan
telapak tanganku ke wajahnya. Dua telapak tangan sekaligus. Bagaimana aku bisa
membiarkannya menangis lebih kejer dari seseorang yang ditinggal mati orang
tuanya.
“Kemana harus kusembunyikan perutku ini
nanti saat mereka semakin membesar?!” Bentakknya, lebih ditujukan kepada
dirinya sendiri. Kakinya menjejak-jejak lantai kesal.
“Untuk apa ditutupi, dulu kamu bahkan
mencintainya terang-terangan. Berpelukan mesra di hadapan siapa pun. Berteriak cinta
di mana pun. Lalu untuk apa menutupi apa yang cinta kalian hasilkan?!” Aku ikut
membentakknya.
“Apa kamu gila?! Semua orang akan
menganggapku sampah. Mereka bahkan akan membuangku ke tempat yang lebih buruk
dari sampah-sampah itu tinggal.”
“Dan cinta lah yang telah mengantarmu
sampai ke sana? Sebegitu buruk kah rupa cinta di zaman ini, serendah itu kah
cinta menempatkan dirinya?” Aku menyipitkan mataku dan menggeleng. Tak percaya
pada apa yang disebutnya cinta selama ini.
“Mereka semua hanya janji. Janji janji
dan janji yang diingkari. Mereka bukan lagi cinta.” Dia mengambil sepidol merah
dan mencoret-coret wajahnya dengan tanda silang. Di kening di seluruh pipi, di
bibirnya, di tangan, ke dua kaki. Di ke dua matanya. Semua tempat yang pernah
menerima janji palsu seseorang yang pernah dipanggilnya cinta, dulu. Dan aku
hanya mampu tertunduk. Tak ada satu pun celah yang tersisa, yang tak dibiarkan
bersih dari janji palsu. Bahkan saat terakhir dia mencoret harga dirinya
sendiri. Hati pun juga keperawanannya.
“Atau mereka sebenarnya tidak pernah
jadi cinta.” Aku menarik kenyataan ke permukaan. Tepat di hadapan wajahnya.
“Dia pernah jadi cinta!” Bentaknya
dengan wajah terbakar amarah.
“Kamu yang menamainya begitu. Dia tidak
pernah jadi cinta.” Aku kembali mengingatkannya.
“Dia pernah jadi cinta!” Dia semakin
kesal padaku.
Tentu saja. Manusia selalu begitu kesal saat dihadapkan dengan kenyataan yang buruk.
“Cinta hanya ada pada janji yang
ditepati. Kamu tak pernah mendengarku. Kamu tak pernah mendengar dirimu
sendiri. Berhentilah jadi badut cinta.” Aku tak punya pilihan lain. Aku ingin
dia semakin kesal dan menemukan dirinya sendiri. Sehancur apa pun kenyataan.
Kamu tak pernah boleh menghancurkan dirimu sendiri— dengan berlari darinya.
Serta merta dia mengangkat kursi di
sisinya. Melemparnya ke arahku dan aku pun remuk berhamburan di hadapannya.
Namaku, cermin.
Tempat banyak manusia justru melupakan
atau pura-pura lupa siapa dirinya yang sebenarnya.
***
Kamis, 06 Desember 2012
Percakapan Cin - Ta *eps.6
Cin: "Cantik, kan?" katamu dengan baju
baru ketika kita mau pergi ke toko buku.
Ta: (Kamu
selalu cantik sekali di mataku) "Ah, kamu ini. Sudah! ayo
berangkat," kataku. Kamu mengikuti langkahku sambil cemberut.
Selasa, 04 Desember 2012
~
Masa itu ada 3 macem
"masa bodo" buat masa lalu
"masa gitu?" buat masa kini
"masa iya?" buat masa depan.
Langganan:
Postingan (Atom)